Kamis, 31 Mei 2012

SEJARAH SINGKAT Abdul Kahar Muzakkar




SEJARAH SINGKAT
Abdul Kahar Muzakkar
(ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya La Domeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.

Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.

Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.

Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar

Tertembaknya Kahar Muzakkar

TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.

Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ”Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,” kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi’i dari Gatra.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu tapi Sadeli, yang ditemui dirumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.

Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka –dari Jawa Barat hingga Makassar– telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir Jenderal Andi Muhammad Jusuf.

Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.

Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.

Sadeli, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ”Saya tegang, senjata pun macet,” kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.

Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ”Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,” bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.

Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ”Kahar geus beunang… hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),” Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.

Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. Toh, keberhasilan regu Umar Sumarna, dan Ili Sadeli, tak lantas mengakhiri sejarah Kahar Muzakkar. Kontroversi mengenai kematian Kahar justru muncul setelah penembakan ini.

Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh Ili Sadeli bukanlah Kahar yang sebenarnya. Kahar yang asli, menurut mereka, telah lenyap menyembunyikan diri. Kontroversi inilah yang terus berkembang hingga 36 tahun setelah penembakan oleh Ili Sadeli ini (baca: Reinkarnasi Kontrarevolusi).


Jusuf Menolak Memberitahu

Ketidakjelasan di mana jenazah Kahar Muzakkar dikuburkan juga menambah kecurigaan bahwa Kahar tak benar-benar mati. Hasan Kamal Muzakkar, 52 tahun, anak sulung Kahar dari istrinya, Corry van Stenus, mewakili keluarganya pernah datang pada M. Jusuf untuk meminta keterangan tentang makam ayahnya. Tapi, Jusuf menolak memberitahu.
Jenderal M. Jusuf

”Menurut Jusuf, kalau letak kuburan Kahar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan. Itu syirik,” kata Hasan Kamal Muzakkar kepada Gatra. Membisunya M. Jusuf soal makam Kahar ini menyebabkan di masyarakat muncul banyak versi tentang di mana sebenarnya letak makam Kahar.

Salah satu versi menyebutkan, berdasarkan salah satu sumber intelijen di TNI Angkatan Darat, ketika jenazah dibawa ke Jakarta, sebenarnya ada dua peti jenazah. Satu dibuang ke laut, satu peti lainnya dibawa lagi ke Makassar dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Ini menyebabkan sebuah kuburan tak bernama di sebelah kiri gerbang taman makam pahlawan dianggap sebagai kuburan Kahar Muzakkar.

Versi lain datang dari KH Mas’ud, kerabat dekat Kahar Muzakkar. Menurut versi ini, makam Kahar Muzakkar sebenarnya terletak dekat sebuah pohon besar di dekat jalan menuju Bandara Makassar. Semua kesimpangsiuran mengenai letak makam Kahar –kalau jenazahnya benar dikuburkan– membuat kepercayaan tentang masih hidupnya Kahar terus terpelihara.

Hingga kini, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Zaenal Dalle, di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, tempat kelahiran dan basis perjuangan Kahar, pendatang perlu berhati-hati bila bercakap bahwa Kahar telah wafat. Sebab, bisa-bisa akan kena damprat penduduk setempat yang fanatik pada Kahar, dan percaya ia masih hidup.

Pada 1989, sebuah jajak pendapat yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin memperoleh hasil yang mengejutkan. Jajak pendapat itu mengambil sampel 200 responden, warga Makassar berusia 19-23 tahun –yang tentu saja tak bersentuhan langsung dengan gerakan DI/TII. Hasilnya; 75% yakin bahwa Kahar Muzakkar masih hidup!

Toh, bagi istri kedua Kahar, Corry van Stenus, kini 78 tahun, kematian suaminya adalah sebuah kepastian. Ia memang tak menyaksikan langsung jasad Kahar. Tapi, bagi Corry, isyarat perpisahan dari Kahar jauh lebih ia percayai. Ketika pasukannya mulai berkurang, Kahar sempat meminta Corry bersembunyi bersama anak bungsunya, Abdullah Mudzakkar, yang baru berusia delapan tahun.


Isyarat Perpisahan

”Saya titipkan untukmu satu peleton pasukan inti. Pergilah,” kata Kahar. Lalu Corry pun diantar Kahar ke salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak bisa menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, ”Istriku, barangkali inilah pertemuan kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.”

Bagi Corry, ucapan Kahar itulah isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak berpesan banyak. ”Jaga kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar jadi anak yang saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar,” kata Corry dengan nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.

Corry mengenang, Kahar, yang terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung kesedihannya yang mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar untuk memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca kabar kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.

Corry pun turun gunung, dan berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi, M. Jusuf –yang bertanggung jawab atas jenazah Kahar– melarang Corry melihat jenazah suaminya. ”Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah diangkut dengan heli menuju Makassar,” kata Corry.

Beruntung, sebelumnya M. Jusuf sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan Farida, yang ditemani suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia, Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar. Sebab, ada bekas eksem di kaki, leher, serta cambangnya.

Kahar, yang kelak penuh mitos ini, sebenarnya lahir dari keluarga biasa. Dengan nama Kahar, ia lahir pada 24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, Luwu, Sulawesi Selatan, dari lingkungan keluarga Bugis-Luwu yang dikenal memiliki keberanian luar biasa. Kahar pun sejak kecil menunjukkan keberaniannya. Ia sangat suka main perang-perangan. Kalau berkelahi, ia tak pernah kalah.


Mengawal Soekarno

Ayah Kahar, yang bernama Malinrang, memiliki banyak sawah dan ladang. Walau tak berasal dari kalangan bangsawan, ayah Kahar memiliki kemampuan berdagang yang baik, sehingga punya banyak uang dan disegani masyarakat. Tapi uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar ”La Domeng”, alias tukang main domino.

Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo, Jawa Tengah, untuk belajar di sekolah Mualimin Muhammadiyah. Konon, di sekolah inilah KH Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) –negara yang didirikan Kahar– pertama kali bertemu tokoh ini.

Sulaeman Habib pulalah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, mengambil nama seorang guru sekolah Mualimin, yang bernama Kahar Muzakkir. Namun, Kahar tak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.

Di Luwu, Kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, Nippon Dahopo. Tapi, sikap antifeodalisme dan antipenjajahan Kahar terlalu kental. Akibatnya, ia tak hanya dibenci Jepang, Kahar pun tak disukai Kerajaan Luwu. Kahar difitnah. Ia dituduh mencuri. Kerajaan pun menghukumnya dengan hukum adat: diusir dari Luwu.

Maka, untuk kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halamannya, balik ke Solo. Di kota ini, ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Tapi, ternyata Kahar lebih tergoda oleh pergerakan kemerdekaan. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta.

Di Ibu Kota, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi. Di Jakarta pula Kahar membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.

Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI


Menghadang Bayonet Jepang

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang. Dengan berani, Kahar mendesak mundur bayonet-bayonet pasukan Jepang yang saat itu sudah mengepung kedua proklamator itu.

Pada Desember 1945, Kahar membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, dan membentuknya menjadi laskar andalan di bawah Badan Penyelidik Khusus, badan intelijen di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Kahar juga mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, karier Kahar di Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) makin menanjak.

Kahar, misalnya, dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Tapi, perjalanan karier Kahar ternyata tidak selamanya mulus. Ketika pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, Kahar tak ditunjuk sebagai pemimpin.

Yang ditunjuk adalah Letkol J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan. Pada 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar menuntut Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10 batalyon, secara otomatis dimasukkan ke dalam APRI dan menjadi Brigade Hasanuddin dibawah kepemimpinannya.

Tapi, Kolonel Kawilarang, Panglima Wirabuana saat itu, menolak. Kekecewaan Kahar pun memuncak. Ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Menurut Anhar Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, rentetan kegagalan itu membuat Kahar merasa gagal mengembalikan siri pesse (harga diri)-nya sebagai orang Bugis-Makassar.

Menurut analisis Anhar Gonggong, setelah 1953 itu, selain akumulasi siri pesse, ideologi Islam juga sudah mulai membentuk jati diri Kahar. Pada 3 Agustus 1953, Kahar dan KGSS-nya menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo. Belakangan, pada 1962, Kahar membentuk RPII, yang terpisah dari DI/TII Kartosoewirjo.


Penghargaan Khusus untuk Corry

Kekerasan hati Kahar sebagai pejuang membuatnya menjadikan pernikahan juga sebagai bagian dari perjuangannya. Istri pertamanya, Siti Walinah, ia ceraikan karena tidak mau diajak berjuang di Sulawesi. Banyak pernikahan Kahar lebih dilandasi kepentingan perjuangan dari kepentingan lain. Secara keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri, dan 15 anak.

Tapi, dari semua istrinya, tampaknya Corry van Stenus-lah yang memiliki kedudukan paling istimewa. Sebab, sebagai istri, Corry mengizinkan Kahar menikah lagi berkali-kali. Alasan masing-masing pernikahan Kahar memang berbeda-beda. Boleh jadi, Corry mengerti dan menyetujui semua alasan Kahar menikahi banyak istri.

Ketika menikahi Corry van Stenus, misalnya. Kahar bermaksud mengislamkan dan mengajaknya ikut berjuang. Ketika memutuskan menikahi Siti Hami –yang dinikahi Kahar pada usia 60 tahun– Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai perjuangannya. Siti Hami memang memiliki kebun kopra sangat luas.

Istri lain Kahar, Siti Habibah, dinikahi untuk menjaga kehormatan istri panglimanya yang gugur dalam pertempuran. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai simbol pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Walau bukan berasal dari kelompok bangsawan, Kahar sangat dihormati, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk dipersunting.

Tapi, Kahar justru memilih Daya sebagai istri terakhirnya. Daya adalah gadis berusia 15 tahun dari suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan Bugis. Yang unik, Corry-lah yang melamar beberapa istri Kahar lainnya. Corry-lah yang melamar Siti Hami untuk Kahar. Bahkan, Corry memandikan Daya dengan tangannya sendiri, sebelum dinikahkan.

Untuk semua pengabdian Corry, Kahar punya penghargaan khusus. Dalam ceramah di depan para pendukungnya, Kahar selalu menegaskan, ”Sepeninggalku, kalian boleh menikahi semua bekas istriku, kecuali Corry. Haram hukumnya, karena riwayat hidup saya akan menjadi rusak.” Dan terbukti, dari semua istri Kahar, yang tidak menikah lagi hanya Corry van Stenus.


Meninggalkan 20 Buku

Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.

Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Apalagi, Kahar selalu menggodanya. Suatu kali, Kahar pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah penggaris itu dikembalikan Kahar.

Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. ”Saya pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi,” Corry mengenang. Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.

Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil Dapelaaf. ”Kamu mau selamat atau tidak?” Kahar bertanya. ”Lebih baik mundur saja. Saya yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.”

Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.

Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan, dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry pun kemudian tak terpisahkan.

Walau tak banyak bertemu dengan Kahar, hampir semua anak Kahar merasa dekat dengan sang ayah. Abdullah Mudzakkar, anak bungsunya dari Corry, punya kenangan khusus tentang ayahnya. Seingat dia, ke mana-mana Kahar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi dokumen, Al-Quran, hadis, dan buku harian.

Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan Kahar cukup baik. Misalnya, tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan Jenderal A.H. Nasution (almarhum).



Sumber:
Wikipedia.org

Minggu, 06 Mei 2012

Pribahasa Bugis


1. Agana ugaukengngi, pakkadang teppadapi, nabuwa macenning.
Maksudnya: Hasrat hatiku menggelora untuk memilikinya, tapi kemampuanku sangat terbatas.
2. Mau luttu maasuwaja, tatteppa rewemuwa tosiputoto-e.
Maksudnya: Walaupun pergi jauh kemana-mana, kalau sudah jodoh pasti surut kembali.
3. Melleki tapada melle; tapada mamminanga; tasiyallabuang.
Maksudnya: Mari kita saling menjalin hubungan mesra supaya cita-cita segera menjadi kenyataan.
4. Iyyaro mai melleku; tebbulu te’ttanete; lappa manengmua.
Maksudnya: Kasih sayang yangkuberikan padamu tak satupun dapat menghalangi.
5. Iyya memeng-paro mai; lejjai addenengku; mattaro pura-e.
Maksudnya:Yang ingin menjalinkasih padaku adalah merek yang mencurahkan sepenuh hatinya.
6. Iyya siya menasakku; mattonra jaritokki; lete di manipii.
Maksudnya: Harapanku ingin hidup semati denganmu.
7. Teyawa naparampaki; teddung makape-kape; tenna pacinaongi.
Maksudnya: Saya tidak akan menumpahkan kasih kepada orang yang tidak bertanggung jawab.
8. Lele akkutanamukki; ala tebbulu-ekki; naleworo tasi.
Maksudnya: Boleh tanyakan betapa lembut jiwaku, betapa bulan hatiku, tak perlu diragukan.
9. Duppa mata ninitokko; ennau mata-tokko; ajak murikapang.
MAKsudnya: Jika kita bertemu pandang, berusahalah menghilangkan kesan yang dapat mencurigakan.
10. Sipongemmu kupacokkong, ribola tudangengmu; teyana mawela.
Maksudnya: Sejak kita bertemu di rumahmu, sejak itulah aku kenang selalu.
11. Rekkuwa tennungi melle; taroi temmasakka; napodo malampe.
Maksudnya: Bila menaruh kasih jangan berlebihan, agar tambah bersemi lebih lama.
12. Laoko kuturutokko, kupabokongitokko; nyameng kininnawa.
Maksudnya: Dengan sepenuh hati dan segenap jiwaku mengantar dikau ke pulau idaman.
13. Ujung tennungi mulao; iyyapa natabbukka idipa taddewe.
Maksudnya: Kehormatanku adalah kehormatanmu pastilah aku jaga dan aku akan kembali keharibaanmu.
14. Mappetuju langii-mana; bitara sampo-engngi; tujunna lipumu.
Maksudnya: Dimana gerangan kampungmu disanalah kucurahkan keluhan jiwaku.
15. Uddanikku temmagangka; dimengku temmappetu; riwangun kalemu.
Maksudnya:Kau kukenang selalu dan kupuja sepanjang masa, sekujur tubuhmu.
16. Taroko melle mallebbang; tinulu mappesona; nateya malegga’’.
Maksudnya: Kebaikanmu yang menawan, kesetiaanmu nan rajintidak akan kulupakan.
17. Mauni di Jawa monro; nyawa situju-ede; teppaja rirampe.
Maksudnya: Walaupun tingal di Jawa bila hati sudah bertaut terkenang selalu.
18. Laowi pattendung langi; posampu temmalullu, lawangeng mabela.
Maksudnya:Walaupun merantau jauh di sanabudi baikmu terkenang selalu.
19. Sipongekku mupacokkong; ricamming nawa-nawa; tekku tepu ale.
Maksudnya: Sejak cinta meracun nan di lara, hatiku merintih, jiwaku meranah, badanku kurus kering.
20. Polena palele winru; tenre kutuju mata padammu sagala.
Maksudnya: Saya telah menelusuri celah-celah kehidupan belum ada taramu.
21. Ininnawa sabbara-e , lolongeng gare deceng tau sabbara-e.
Maksudnya: Orang yang sabar senantiasa mendapat kebajikan yang diidamkan.
22. Tellu-ttaunna sabbara, teng-inang ulolongeng; carubbu sengereng.
Maksudnya: Sudah tiga tahun bersabar menanggung duka, tapi belum Nampak juga titik cerah kebahagiaan.
23. Toripaseng teya mette, tonapolei paseng teya makkutana.
Maksudnya: Yang datang membawa pesan membisu, yang didatangi pesan tercengang membisu.
24. Pekkogana makkutana, rilaleng tennung-ekka napole pasenna.
Maksudnya: Saya tidak sempat bertanya karena kedatanganmu sangat mengherankan.
25. Tekku sappa balanca-e, uparanru’ sengereng, nyawami kusappa.
Maksudnya: Saya tidak cinta harta, tidak ingin kecantikan, tetapi yang saya cari adalah budi bahasa nan halus.
26. Tellu ronna sitinro’, cinna-e udaani-e, napassengereng.
Maksudnya: Tidak dapat dipisahkan antara Cinta, rasa rindu dan kenangan indah.
27. Sangadi dewata-e teya, Tolino-e massampeyang, nakusalai janci.
Maksudnya: Kecuali Tuhan yang tidak merestui, dan masyarakt yang menolak, baru saya mengingkari janji.
28. Mamasepi dewata-e, nalolang sitalleyang tosipominasa-e.
Maksudnya: Menantika ridha’ Tuhan semoga kita dipertemukan.
29. Lempupa na ada tongeng, sanreseng nawa-nawa, tenna pabelleyang.
Maksudnya: Orang yang baik dan jujur merupakan tumpuan harapan tidka mengecewakan.
30. Melleko mellemutowa, tenginang upogau’ melle sewali-e.
Maksudnya: Jika engkau senang padaku, sayapun senang padamu sebaba saya tidak pernah bertepuk sebelah tangan.

ADA-ADA TO RIOLO

Beberapa Ada-ada To Riolo yang merupakan nasihat orang tua kepada anaknya antara lain sebagai berikut:Beberapa Ada-ada To Riolo yang merupakan nasihat orang tua kepada anaknya antara lain sebagai berikut:1.MAUNI COPPO' BOLANA GURUTTA' RIUJA MADORAKAMONI'
Artinya : Walaupun bubungan atap rumah Guru yang dicela, maka kita pun berdosa.
FungsI : Agar anak senantiasa menghormati Gurunya.
Nilai : Pendidikan akhlak.

2.AJA' MUOPPANG NASABA MATEI MATI INDO'MU
Artinya : Jangan Engkau tidur tengkurap/ meniarap, nanti mati ibumu.
Fungsi : Supaya anak menghentikan kebiasaan yang merugikan dirinya yakni bisa berakibat sesak nafas
Nilai : Pendidikan kesehatan.

3. NAREKKO PURANI RIACCINAUNGI PASSIRING BOLANA TAUWE TEMPEDDINNI RINAWA-NAWA MAJA
Artinya : Kalau kita sudah berteduh dibawah atap rumahnya seseorang, sudah tidak boleh lagi
dibenci (diusahakan ia binasa).
Fungsi : Supaya anak tahu menghargai budi orang lain.
Nilai : Pendidikan akhlak

4. AJA MULEU RI TANAE, KONALLEKKAIKO MANU-MANU MATEITU INDO'MU
Artinya : Jangan kamu baring ditanah, karena kalau ada burung melewatimu ibumu akan mati.
Fungsi : Supaya anak jangan mengotori dirinya.
Nilai : Pendidikan kesehatan.

5. AJA MUALA AJU PURA RETTE' WALIE NAKOTENNA IKO RETTE'I, AJA' TO MUALA AJU RIPASANRE'E, KOTENNA IKO PASANREI
Artinya : Jangan kau ambil kayu yang sudah dipotong ujung dan pangkalnya. Dan jangan pula engkau ambil kayu yang tersandar, kalau bukan kau yang sandarkan.
Fungsi : Supaya anak tahu menghargai hak orang lain.
Nilai : Pendidikan kejujuran.

6. AJA MUINUNG TETTONG, MALAMPEI LASOMU
Artinya : Jangan minum berdiri, nanti panjang kemaluanmu.
Fungsi : Supaya gelas tidak jatuh/pecah.
Nilai : Memelihara keselamatan barang.

7. AJA MUNAMPUI TANAE, MATARUKO
Artinya : Jangan menumbuk tanah, karena kamu bisa jadi tuli.
Fungsi : Supaya anak tidak mengotori dirinya sendiri.
Nilai : Pendidikan kebersihan.

8. NGOWA NA KELLAE, SAPU RIPALE PAGGANGKANNA
Artinya : Loba dan tamak, berakibat kehampaan.
Fungsi : Supaya anak tahu mensyukuri yang ada (sedikit tapi halal).
Nilai : Pendidikan untuk menghormati hak orang lain (tidak serakah)

9. AJA MUANRE TEBBU RI LEUREMMU, MATEI INDO'MU
Artinya : Jangan makan tebu ditempat tidurmu, akan mati ibumu.
Fungsi : Supaya anak tidak kotor, dan dikerumuni semut.
Nilai : Pendidikan kebersihan.

10. RICAU AMACCANGNGE, RIABBIASANGENGNGE
Artinya : Kalah kepintaran dari kebiasaan atau pengalaman.
Fungsi : Supaya anak rajin membiasakan diri belajar.
Nilai : Pendidikan kepatuhan.

11. Aja Muakkelong Riyolo Dapureng, Tomatowa Matu Muruntu’
Artinya : Jangan menyanyi di muka dapur, jodohmu nanti orang tua.
Fungsi : Supaya anak tahu menempatkan sesuatu pada posisinya masing-masing.
Nilai : Pendidikan ketertiban.

12.GETTENG LEMPU ADATONGENG
Artinya : Tegas, jujur serta berkata benar.
Fungsi : Supaya anak teguh pada pendirian,,jujur, dan berbudi bahasa yang baik.
Nilai : Pendidikan mental.

13. Aja Mubuangi Sanru’e, Maponco Sunge tauwe.
Artinya : Jangan menjatuhkan sendok, kita pendek umur.
Fungsi : Supaya sendok tak jatuh kotor.
Nilai : Pendidikan kebersihan.

14. Komuturusiwi Nafessummu, padaitu mutonanginna lopi Masebbo’E.
Artinya : Kalau kamu menuruti nafsumu, sama saja engkau menumpang perahu bocor.
Fungsi : Kalau tidak tahu mengendalikan diri, pasti binasa.
Nilai : Pendidikan untuk mengendalikan diri (amarah).

15. Engkatu Ada Matarengngi Nagajangnge.
Artinya : Ada perkataan lebih tajam dari keris.
Fungsi : Supaya anak memelihara selalu bahasanya kepada orang lain.
Nilai : Pendidikan akhlak.

16. Naiyya Balibolae, Padai Selessurengnge.
Artinya : Adapun tetangga itu sama dengan saudara.
Fungsi : Supaya kita menghormati tetangga.
Nilai : Pendidikan akhlak bermasyarakat.

17. Aja Mutudang risumpangnge, Mulawai dalle’E.
Artinya : Jangan duduk dimuka pintu, kau menghambat rezeki.
Fungsi : Supaya anak tidak menghalangi orang yang mau lewat.
Nilai : Pendidikan Tatakrama.

18. Rekko Mupakalebbi’i Tauwe, Alemutu Mupakalebbi.
Artinya : Kalau kamu memuliakan orang, berarti dirimulah yang kau muliakan.
Fungsi : Agar anak senantiasa memuliakan dan menghargai orang lain.
Nilai : Pendidikan Tatakrama.

19. Aja’ Muasseringangngi Pale’mu, Sapu ripalekko.
Artinya : Jangan jadikan sapu telapak tanganmu, nanti kamu hampa tangan.
Fungsi : Supaya anak jangan mengotori tangannya, dan bisa kena benda tajam.
Nilai : Pendidikan kebersihan.

20. Aja Mutudangiki angkangulungnge, malettakko.
Artinya : Jangan menduduki bantal, nanti kau kena bisul.
Fungsi : Agar anak tidak merusak alat tempat tidur.
Nilai : Pendidikan untuk tetap memelihara peralatan.

21. Anreo Dekke inanre, Namalampe Welua’mu.
Artinya : Makanlah Nasi yang hangus pada dasar periuk supaya panjang rambutmu.
Fungsi : Membuat anak mau saja makan nasi yang tidak baik (hangus).
Nilai : Pendidikan pembiasaan anak tidak mubazir.

22. Resopa Natemmangingngi, Malomo nNletei Pammase Dewata
Artinya : Hanya kerja disertai ketekunan, mudah mendatangkan rezeki Tuhan.
Fungsi : Agar anak tidak malu bekerja keras untuk mendapat rezeki.
Nilai : Pendidikan kerajinan dan ketekunan.


23. Naiyya Olokolo’E Tuluna Riattenning, Naiyya Tauwe Adanna Riattenning.

Artinya : Kalau binatang, talinyalah yang dipegang, kalau manusia perkataannya yang dipegang.
Fungsi : Agar anak konsisten dapat menepati perkataannya.
Nilai : Pendidikan kejujuran (akhlak).

24. Cicemmitu tauwe Tai ri lalengnge, Idi’na sini riaseng.
Artinya : Sekali kita berak di jalan, maka kitalah yang selalu dituduh.
Fungsi : Jangan sekali-kali kita berbuat yang tidak baik, karena selalu kitalah yang dituduh kalau ada perlakuan yang sama.
Nilai : Pendidikan anak jangan melakukan yang buruk.

25. Panni’na manue muanre, Malessiko lari.
Artinya : Sayapnyalah ayam yang kau makan, jadinya kau kuat lari.
Fungsi : Supaya anak tidak manja dalam memilih makan.
Nilai : Pendidikan agar anak tidak membuat masalah terhadap makanan keluarga.

26. AJA MURENNUANGNGI ANU DEE RI LIMAMMU
Artinya : Janganlah engkau terlalu mengharapkan apa yang belum ada pada tanganmu.
Fungsi : Supaya tidak terlalu berani mengharapkan barang (uang) yang belum tentu didapat (hari) itu.
Nilai : Peringatan agar tidak meremehkan janji, sampai salah jadinya.

Rabu, 02 Mei 2012

Selamat datang Kota Kalong Soppeng

Selamat datang Kota Kalong Soppeng


BAU menyengat khas kelelawar atau biasa disebut kalong, langsung menusuk hidung begitu kendaraan memasuki Watansoppeng, ibu kota Kabupaten Soppeng (150 kilometer utara Makassar). Bau ini akan makin menusuk hidung bila berada tepat di bawah pepohonan yang ada di sekitar masjid. Suara ribut dan berisik yang khas dari ribuan kalong nyaris tidak pernah berhenti.

SAAT petang menjelang malam, kalong- kalong ini pun terbang meninggalkan pepohonan tempatnya bersarang dengan suara gemuruh yang lebih ramai. Kadang, saat ribuan kalong ini terbang, langit seperti tertutup bayangan hitam. Pada subuh menjelang pagi, kalong-kalong itu kembali ke sarang mereka dengan suaranya yang tetap ingar-bingar, seakan membangunkan warga sekitar untuk segera memulai aktivitasnya.

Pemandangan seperti ini bukan sesuatu yang baru dan akan terlihat setiap hari di Watansoppeng. Tidak ada penduduk sekitar yang tahu persis kapan tepatnya kalong-kalong ini mulai bersarang di pohon-pohon tersebut. Tetapi masyarakat meyakini keberadaan kalong-kalong ini sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Tak heran, Soppeng akrab dengan sebutan “kota kalong”. Bahkan, kalong ini sendiri merupakan pemandangan unik yang sudah menjadi ciri khas Soppeng sejak dulu.

“Usia saya sekarang sudah hampir 80 tahun, dan saat saya kecil, kalong-kalong ini sudah ada di tempatnya yang sekarang. Kata orangtua saya, kalong-kalong ini juga sudah ada sejak mereka kecil,” cerita Ny Hj A St Roniah, warga Soppeng yang tinggal di Kecamatan Marioriawa, Soppeng.
Masyarakat Soppeng meyakini betul bahwa kalong itu bukanlah sekadar bersarang begitu saja di jantung Kota Soppeng, tetapi juga sebagai penjaga kota. Atas keyakinan itu, masyarakat pun tak pernah mengusik keberadaan satwa tersebut. Bahkan, masyarakat juga percaya kalong-kalong itu akan menjadi pertanda dan penyampai kabar tentang sesuatu yang baik dan buruk yang akan terjadi di kota mereka.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila kalong-kalong ini pergi meninggalkan sarangnya dan tidak kembali, berarti akan ada bencana atau kejadian serupa yang akan menimpa masyarakat dan Kota Soppeng. Setidaknya hal seperti sudah terbukti beberapa kali.

“Kalong-kalong ini pun pernah marah. Saat itu sekitar tahun 1990-an, pemerintah menebang sebuah pohon besar untuk lokasi sebuah kantor. Pohon yang ditebang ini diyakini sebagai rumah tinggal pemimpin kalong. Setelah penebangan pohon ini, kalong-kalong itu pergi dan tidak kembali. Tak lama setelah itu, kebakaran besar melanda Soppeng dan menghanguskan hampir seluruh pasar sentral yang tidak jauh dari sarang kalong ini,” tutur Salma (32), salah seorang penduduk.
Ditambahkan, butuh waktu lama untuk menunggu hingga kalong-kalong itu mau kembali. Kawanan satwa itu baru mau kembali setelah “dipanggil” melalui sebuah upacara dan pemotongan kerbau. Percaya atau tidak, begitulah yang dituturkan sejumlah warga.
KALONG, dengan bau dan suaranya yang khas, sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak hal menarik yang bisa ditemui saat berkunjung ke Soppeng. Soppeng sendiri sebenarnya bukanlah kabupaten yang terlalu istimewa di Sulawesi Selatan (Sulsel). Tidak besar, tidak kecil, tidak ramai, tetapi juga tidak sepi sekali. Satu hal yang pasti, kota ini punya keunikan dan keindahan tersendiri.
Soppeng berada di pegunungan dan dikelilingi pegunungan. Namun, iklimnya tidak terlalu dingin seperti daerah pegunungan umumnya. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah pegunungan dengan hamparan sawah seperti karpet hijau di bawahnya.

Dari Kota Makassar, perjalanan ke Soppeng dapat ditempuh antara empat hingga lima jam. Kalau tidak punya kendaraan pribadi, bisa memilih kendaraan umum yang berangkat dari Terminal Panaikang Makassar, hampir setiap saat.
Pemandangan menarik sudah dapat dilihat sejak me- masuki daerah perbatasan Kabupaten Barru-Soppeng. Sejak perbatasan kedua daerah ini, kendaraan memang mulai mendaki dan mengitari gunung. Praktis sepanjang jalan yang terlihat hanyalah hamparan pegunungan dan sa- wah nan hijau serta rumah- rumah penduduk nun jauh di bawah.
Perjalanan ke “kota kalong” ini akan melalui.
Mendekati ibu kota Soppeng, Watansoppeng, dan di hampir semua ruas jalan di dalam kota, tampak jalan-jalan yang teduh dengan deretan pohon asam dan pohon lainnya di sisi kiri-kanan jalan.
Di Watansoppeng sendiri, selain menyaksikan kehidupan kalong, kunjungan bisa dimulai dengan melihat-lihat Villa Yuliana, sebuah bangunan bergaya perpaduan Eropa dan Bugis yang dibangun CA Krosen pada tahun 1905. Vila ini merupakan bangunan kembar yang kembarannya berada di Nederland, Belanda.
Berhadapan dengan Villa Yuliana ada kompleks Istana Datu Soppeng yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa pemerintahan Raja Soppeng I Latemmamala yang bergelar Petta BakkaE.
Di dalam kompleks ini terdapat sejumlah bangunan, di antaranya Bola RidiE (rumah kuning), tempat penyimpanan berbagai benda atribut Kerajaan Soppeng. Ada juga SalassaE, yakni bekas Istana Datu Soppeng, dan Menhir Latammapole yang dulunya adalah tempat menjalani hukuman bagi pelanggar adat.
SEBAGAI salah satu bekas kerajaan di Sulsel, sejumlah bangunan dan makam bersejarah lainnya dapat dijumpai di Soppeng. Ini di antaranya Makam Jera LompoE, yakni makam raja-raja/Datu Soppeng, Luwu, dan Sidenreng pada abad XVII yang terletak di Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata (satu kilometer utara Watansoppeng). Dari bentuknya, makam ini merupakan perpaduan pengaruh Hindu dan Islam. Masih ada lagi kompleks makam lain, di antaranya Makam KalokoE Watu di mana terdapat We Tenri Sui, ibu kandung Arung Palakka.
Melanjutkan perjalanan ke arah utara Watansoppeng (12 kilometer), kita akan sampai di pusat persuteraan alam Ta’juncu. Sejak dulu, Ta’juncu sudah terkenal dengan kegiatan persuteraan alam. Dimulai sekitar tahun 1960-an, dan sutera alam Ta’juncu mencapai puncaknya tahun 1970-an.
Selain melihat areal pertanaman murbei, kita juga akan melihat aktivitas persuteraan yang meliputi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, hingga pertenunan yang masih menggunakan alat tenun tradisional. Bagi yang suka mengoleksi sutera, beragam pilihan kain, sarung, hingga baju bodo (baju adat untuk perempuan Bugis/Makassar) dapat dibeli di sini. Soal harga, tentulah miring.
Bila sudah penat berjalan- jalan seharian, kita bisa memulihkan stamina dengan berendam air panas di Pemandian Air Panas Lejja di Kecamatan Marioriawa (44 kilometer utara Watansoppeng). Perjalanan menuju pemandian ini tak kalah indahnya, karena sepanjang perjalanan berjejer rapi pohon-pohon rimbun di kiri kanan jalan serta persawahan dan pegunungan di kejauhan.
Di pemandian alam ini selain terdapat sumber air panas, tersedia tiga kolam besar untuk berendam. Ketiga-tiganya menawarkan pilihan yang berbeda, yakni air panas, sedang, atau yang hangat. Kalau tidak mau bergabung dengan pengunjung lainnya, tinggal memilih tempat berendam VIP yang letaknya agak terpisah dari ketiga kolam pemandian yang ada.
Tersedia lima kolam berukuran kecil yang masing-masing dilengkapi tempat peristirahatan. Lokasi pemandian yang berada di bawah rerimbunan pohon-pohon besar serta suara kicauan burung yang nyaris tiada henti tentu saja membuat acara berendam bertambah asyik.
Selain Lejja, masih ada dua pemandian alam lainnya, yakni Ompo dan Citta. Bedanya, di pemandian ini airnya tidak panas, tetapi sejuk dan sangat jernih. Bahkan, dari kedua sumber air ini pula pengusaha setempat membuat air mineral dalam kemasan.
KALAU sudah puas berendam, perjalanan bisa dilanjutkan untuk melihat-lihat kompleks rumah adat Sao Mario di Kelurahan Manorang, Kecamatan Marioriawa. Di kompleks rumah adat Sao Mario, terdapat rumah adat Bugis, Mandar, dan Toraja. Hampir semua rumah, terutama yang berarsitektur Bugis, bertiang 100. Karena itu, masyarakat sekitar menyebutnya dengan bola seratuE. Selain itu, juga terdapat sebuah rumah lontar yang dinding, lantai, tiang, rangka serta perabotan berbahan baku lontar.
Kendati bukan rumah bersejarah, tetapi rumah-rumah adat di sini berisi penuh dengan barang-barang antik bernilai tinggi. Barang-barang antik dan bersejarah ini sebagian di antaranya adalah barang peninggalan dari beberapa kerajaan di Indonesia. Barang- barang yang dapat dilihat antara lain tempat tidur, perangkat meja dan kursi makan, lemari, ratusan guci, perlengkapan makan raja-raja, ratusan senjata tajam berupa badik, parang, pedang, keris, dan lainnya. Kompleks rumah adat ini juga dilengkapi rumah makan berbentuk perahu pinisi.
_____________________________

Galery

  1.   Lambang kab:Soppeng










2.Rumah Adat Soppeng










Kota Soppeng










Kalong (kelilawar)








Ciri khas Soppeng




Bindi, Bendi/andong








Permandian Alam Ompo.











Cakkele. 
Kakatua lambang Pemda:Soppeng













Rumah Adat








Kawali..,
Kris Bugis Soppeng






Lejja
Permandian Air Panas



Pattenung Lipa Sabbe.
Sarung Sutra.










Makkare Ico.
Daun Tembakau Yang di iris oleh Warga Soppeng







Tembakaunya Orang Soppeng








Tembakau siap di Jemur




 Rokok Bugis
Adidie..





Aksara Lontara
bahasa Bugis









WALLI PETUE
Wali 7..





Salah satu photo Bugis Soppeng masa lampau............

Suku dan Etnis di Sulawesi Selatan

Suku dan Etnis di Sulawesi Selatan

Selama ini yang orang tahu dari Sulsel cuma ada empat suku, yaitu makassar, bugis, mandar dan toraja... ternyata masih banyak yang lain...


SUKU BENTONG = Suku Bentong tinggal di perbatasan Kabupaten Maros dan Bone, mereka mendiami daerah Bulo-Bulo, bagian dari wilayah Kecamatan Tenete Riaja. Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan.


SUKU BUGIS = Suku tersebut berpusat di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami sebelas Kabupaten, yaitu Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sidenreng-Rappang, Powelai-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.


SUKU CAMPALAGIAN = Nama lain dari suku ini adalah Tulumpanuae atau Tasing, dan biasa disebut oleh pemerintah suku Mandar. Namun mereka menyebut diri mereka orang Campalagian. Mereka tinggal di sekitar Kabupaten Majene, tepatnya di kota Campalagian dan Kab. Polewali-Mamasa (Polmas) serta di Kabupaten Mamuju sepanjang sungai Mandar.

SUKU DURI = Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.

SUKU ENREKANG = Suku Enrekang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, kurang lebih 259 Km dari kota Ujung Pandang .

SUKU KONJO PEGUNUNGAN = Suku ini mendiami hampir seluruh Kabupaten Gowa. Gowa bekas kerajaan yang menjadi obyek wisata, terletak sekitar 30 km dari Ujung Pandang .

SUKU KONJO PESISIR = Suku Konjo tinggal di Kabupaten Bulukumbu, kurang lebih 209 km dari kota Ujung Pandang , Propinsi Sulawesi Selatan. Nama lain suku ini adalah Kajang - merupakan perkampungan tradisional khas suku Konjo.

SUKU LUWU = Suku Luwu tinggal di Kabupaten Luwu dan sekitarnya.

SUKU MAIWA = Suku Maiwa merupakan salah satu suku di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.

SUKU MAKASAR = Wilayah suku Makasar berada di Kabupaten Takalar Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Maros dan Pakajene. Pada umumnya kehidupan orang Makasar dan orang Bugis berbaur, dengan penduduk terletak di pesisir pantai dan Teluk Bone, serta di sekitar Gunung Lompobatang.

SUKU MAMUJU = Mamuju terletak di tepi pantai timur Sulawesi , terbentang dari arah selatan ke utara. Suku ini dialiri oleh beberapa sungai, seperti Hua, Karamu, Lumu, Budung-Budung.

SUKU MANDAR = Suku Mandar terletak di Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Selatan.

SUKU TOALA'/PANNEI = Sumpang Bita adalah obyek wisata gua yang terdapat di Kab. Pangkep, Sulsel. Pada dinding gua Sumpang Bita itu terdapat bekas gambar telapak tangan, dan telapak kaki manusia, perahu, rusa dan babi hutan. Mungkin unsur-unsur ini menunjukkan gaya hidup orang Toala/Pannei zaman dulu. Konon sejak 5000 tahun yang lampau merupakan tempat hidup nenek moyang suku Toala/Pannei.

SUKU ULUMANDA = Masyarakat Ulumanda berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu anak suku Bungku.

PS :

- Konon kabarnya Suku Bentong adalah keturunan putra Raja Bone yang kawin dengan putri Raja Ternate.
- Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini.










                            peta kab:Soppeng

SEBELUM BERSTATUS KECAMATAN

A.      SEBELUM BERSTATUS KECAMATAN
1.    Seperti kita ketahui bahwa, sebelum keluarnya Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 Daerah Soppeng ini berstatus Swapraja yang terdiri dari 7 Wanua yang setingkat dengan Distrik yaitu :
a.        Wanua Lalabata Ibu Negerinya Watansoppeng
b.       Wanua Lilirilau Ibu Negerinya Cabenge
c.        Wanua Liliriaja Ibu Negerinya Cangadi
d.       Wanua Marioriawa Ibu Negerinya Batu-batu
e.       Wanua Marioriwawo Ibu Negerinya Takalalla
f.         Wanua Pattojo Ibu Negerinya Maccini
g.        Wanua Citta Ibu Negerinya Pacongkang
2.   Khusus Wanua Lilirilau lazim juga disebut “LOMPENGENG” yang dikepalai oleh seorang Kepala Wanua yang bergelar “ARUNG LOMPENGENG”.
3.       Wanua Lilirilau terbagi atas 4 Wanua bawahan masing-masing :
a.        Wanua Bawahan Lompengeng Kepalanya Bergelar Sulewatang
b.       Wanua Bawahan Pajalesang Kepalanya Bergelar Sulewatang
c.        Wanua Bawahan Macanre Kepalanya Bergelar Sulewatang
d.       Wanua Bawahan Baringeng Kepalanya Bergelar Arung
4.   Tiap-tiap Wanua bawahan terbagi atas kampong-kampung yang dikepalai oleh seorang yang bergelar “MATOA” antara lain :
a.        Wanua Bawahan lompengeng terdiri atas 10 Kampung yaitu
·         Kampung Salaonro kepalanya bergelar Kepala Salaonro
·         Kampung Kecce kepalanya bergelar Kepala Kecce
·         Kampung Paroto kepalanya bergelar Matoa Paroto
·         Kampung Marale kepalanya bergelar Matoa Marale
·         Kampung Tetewatu kepalanya bergelar Matoa Tetewatu
·         Kampung Abbanuange kepalanya bergelar Kepala Abbanuange
·         Kampung PeppaE kepalanya bergelar Kepala PeppaE
·         Kampung Saleng kepalanya bergelar Kepala Saleng
·         Kampung Ujung kepalanya bergelar Kepala Ujung
·         Kampung Berru kepalanya bergelar Kepala Berru
b.       Wanua Bawahan Pajalesang terdiri atas 5 Kampung yaitu
·         Kampung Allimbangeng kepalanya bergelar Kepala Allimbangeng
·         Kampung Talipu kepalanya bergelar Kepala Talipu
·         Kampung Sumpang Salo kepalanya bergelar Kepala Sumpang Salo
·         Kampung Pajalesang kepalanya bergelar Matoa Pajalesang
·         Kampung Lenrang kepalanya bergelar Matoa Lenrang
c.        Wanua Bawahan Macanre terdiri atas 2 Kampung yaitu :
·         Kampung Toawo kepalanya bergelar Kepala Toawo
·         Kampung Macanre  kepalanya bergelar Matoa Macanre
d.       Wanua Bawahan Baringeng terdiri dari 10 Kampung yaitu :
·         Kampung Tanjonge kepalanya bergelar Kepala Tanjonge
·         Kampung Pompulu kepalanya bergelar Kepala Pompulu
·         Kampung Mappalakkae kepalanya bergelar Kepala Mappalakkae
·         Kampung  Takku kepalanya bergelar Kepala Takku
·         Kampung  Buruccenge kepalanya bergelar Kepala Buruccenge
·         Kampung  Leppangeng kepalanya bergelar Kepala Leppangeng
·         Kampung  Masing kepalanya bergelar Matoa Masing
·         Kampung  Lagoe kepalanya bergelar Matoa Lagoe
·         Kampung  Bila kepalanya bergelar Matoa Bila
·         Kampung  Palero kepalanya bergelar Matoa Palero


B.       SETELAH BERSTATUS KECAMATAN
1.   Kecamatan Lilirilau dibentuk bersama-sama dengan Kecamatan-kecamatan lainnya dalam Kabupaten Soppeng, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara tanggal 16 Agustus 1961 Nomor 1100 dalam rangka reorganisasi Pemerintahan Administrasi terendah di Sulawesi Selatan Tenggara dalam Tahun 1961. Kabupaten Soppeng terdiri 7 Wanua (Distrik) dilebur menjadi 5 Kecamatan yaitu : Kecamatan Lalabata, Kecamatan Lilirilau, Kecamatan Liliriaja, Kecamatan Marioriawa dan Kecamatan Marioriwawo. Sedangkan 2 Wanua lainnya masing-masing Wanua Citta dimasukkan dalam wilayah Keacamatan Lilirilau dan Wanua Pattojo dimasukkan dalam wilayah Kecamatan Liliriaja.
2.  Dengan terbentuknya Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Soppeng, Kecamatan Lilirilau mengalami perubahan-perubahan baik Daerah Hukumnya maupun Struktur Organisasi Pemerintah/Aparatnya yaitu :
a.        Daerah Hukumnya :
·     Kampung Lenrang tadinya masuk wilayah Kecamatan Lilirilau tetapi mengalami perubahan, maka masuk Wilayah Kecamatan Liliriaja.
·         Wanua (Distrik) Citta yang terdiri dari 11 Kampung dilebur seluruhnya, 10 Kampung dimasukkan ke Wilayah Kecamatan Lilirilau dan 1 Kampung dimasukkan kedalam Wiyaha Kecamatan Liliriaja.
·       Kampung Kebo dan Lompulle dari wilayah Kecamatan Liliriaja masuk ke Wilayah Kecamatan Lilirilau.
·     Jadi Wilayah Kecamatan Lilirilau semula berukuran 1 Kampung, tetapi akhirnya bertambah 12 Kampung sehingga daerah hukumnya bertambah luas, dari 27 kampung menjadi 38 Kampung.
b.       Struktur Organisasi Pemerintahan/Aparatnya.
·       Kepala Wanua yang bergelar Arung Lompengeng diganti dengan sebutan Kepala Kecamatan dan status Pegawai Negeri
·         4 Wanua bawahan dihapuskan menjadi Pegawai Negeri dan seorang diantaranya di pensiunkan, yaitu     Sulewatang Macanre.
 3.       Pembentukan Desa Gaya Baru
Dalam rangka pembentukan Desa Gaya Baru di Sulawesi Selatan, maka di Kabupaten  Soppeng  termasuk di  Kecamatan  Lilirilau  telah  2  kali  mengalami reorganisasi kampung-kampung yaitu beberapa beberapa kampung digabung menjadi 1 gabungan kampong, kemudian diberi nama “Desa Gaya Baru”.
-     Pertama, dilakukan pada Tahun 1963 berdasarkan Surat Keputusan DPRD GR Kabupaten Soppeng No.   19/DPRD-GR/63 Tanggal 10 April 1963 yaitu dari 176 kampung menjadi 66 kampung (Desa Gaya Baru) dimana Kecamatan Lilirilau dari 38 Kampung menjadi 14 Desa Gaya Baru.
-      Kedua, dilakukan pada Tahun 1968, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tanggal 20 Desember 1965 No. 450/XII/1965  jo Surat Keputusan DPRD Kabupaten Soppeng No. 43/DPRD/1967 tanggal 22 Desember 1967 yaitu dari 66 Desa Gaya Baru yang diberi nama Wanua, dimana Kecamatan Lilirilau terdapat 6 Desa Gaya Baru (Wanua).
4.    Sehubungan dengan Pembentukan Desa Gaya Baru, maka 4 buah kecamatan dalam Kabupaten Soppeng termasuk Kecamatan Lilirilau mengalami perubahan-perubahan yaitu :
a.  Bekas wilayah Wanua (Distrik) Citta yang dimasukkan dalam Kecamatan Lilirilau dikeluarkan seluruhnya dan dimasukkan dalm Wilayah Kecamatan Liliriaja.
b.    Sebutan Desa Gaya Baru Lama (Mattanru) yang diliputi 2 buah kampung dari Kecamatan Liliriaja dimasukkan   dalam wilayah Kecamatan Lilirilau.
5.  Dengan terbentuknya Desa Gaya Baru yang diberi nama “Wanua” sebagai hasil Reorganisasi kampung-kampung yang kedua, dan perubahan-perubahan batas wilayah hukum Kecamatan, maka Kecamatan Lilirilau yang tadinya terdiri 14 Desa Gaya Baru, sekarang menjadi 6 Wanua yaitu :
a.        Wanua Pajalesang Ibu Negerinya Pajalesang
b.       Wanua Ujung Ibu Negerinya Ujung
c.        Wanua Tetewatu Ibu Negerinya Tetewat
d.       Wanua Abbanuange Ibu Negerinya Abbanuange
e.       Wanua Baringeng Ibu Negerinya Baringeng
f.         Wanua Lompulle Ibu Negerinya Lompulle
6.  Tiap-tiap Wanua dikepalai oleh seorang Kepala Wanua dan meliputi beberapa lingkungan yang dikepalai oleh seorang kepala lingkungan yang bergelar “Matoa”.


Dengan adanya perbedaan sebutan nama Desa dibeberapa daerah Tk.II di Sulawesi Selatan, maka pemerintah daerah Tk. I Sulawesi Selatan menetapkan nama Desa yang berlaku umum pada daerah-daerah Tk.II di Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusannya No. 309/IX/73 tanggal 11 September 1973 pada pasal 1.
Dengan berpedoman pada Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sulawesi Selatan No. 308/IX/1973 pasal 3 ayat 1,2 dan 3 yang isinya mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi berdirinya Desa baru hasil pemekaran, maka dengan berdasar pada surat Bupati Kepala Daerah Tk. II Soppeng maka keluarlah Surat Keputusan Gubernur  Sulawesi Selatan No. 757/XI/1977 Tanggal 3 Nopember 1977 tetang persetujuan penambahan Desa di Kabupaten Daerah Tk. II Soppeng, setelah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri dengan suratnya tanggal 12 April 1977 tentang penambahan jumlah Desa di Kecamatan lilirilau dari 6 buah menjadi 7 buah desa, dan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk I Sulawesi Selatan No. 175/II/1989 tanggal 17 Februari 1989 tentang pembentukan Desa Persiapan manjadi DESA dalam wilayah Kabupaten Daerah Tk. II Soppeng, maka Kecamatan LIlirilau mendapat penambahan dari 7 buah Desa menjadi 9 Desa, yaitu :


a. Kelurahan Pajalesang b. Desa Tetewatu c. Desa Abbanuange d. Kelurahan Ujung e. Kelurahan Macanre f. Desa Lompulle g. Desa Kebo h. Desa Baringwng i. Desa Masing
Dan selanjutnya dari 9 Desa berdasarkan surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sulawesi Selatan No. 1121/IX/1989 Tanggal 25 September 1989 tentang pengesahan Desa Persiapan dalam wilayah Kabupaten Daerah Tk. II Soppeng, di Kecamatan Lilirilau dari 9 Desa ditambah lagi 3 Desa persiapan menjadi 12 Desa yaitu :


a. Kelurahan pajalesang
b. Desa Tetewatu
-  Kampung Pajalesang

- Dusun Tonronge
-  Kampung Cabenge

- Dusun Callawe
-  Kampung Sumpang Salo








c. Desa Abbanuange

d. Kelurahn Ujung
-  Dusun Abbanuange

- Kampung Berru
-  Dusun PeppaE


- Kampung Salaonro
-  Dusun Saleng








e. Kelurahan Macanre

f. Desa Lompulle
-  Kampung Macanre

- Dusun Alliwengeng
-  Kampung Toawo


- Dusun Mattanru





g. Desa Kebo


h. Desa Baringeng
-  Dusun Watnlompulle

- Dusun Baringeng
-  Dusun Kebo


- Dusun Tanjonge





i. Desa Masing

j. Desa Pers. Parenring
-  Dusun Masing


- Dusun Temmakatue
-  Dusun Buruccenge

- Dusun Dungriaja




- Dusun Batu





k. Desa Pers. Paroto

l. Desa Pers. Palangiseng
- Dusun Paroto


- Dusun Bila
- Dusun Marale


- Dusun Palero
- Dusun Kecce






Kecamatan Lilirilau sebelum berstatus Kecamatan di sebut Wanua yang setingkat dengan “Distrik” bagi tanah-tanah GAU ER NAMEN di Sulawesi Selatan, Kepala Wanua Lilirilau bergelar “ARUNG LOMPENGENG” wilayah hukumnya 4 Wanua bawahan dan 27 Kampung. Setelah berstatus kecamatan pada tahun 1962 istilah Wanua dihapuskan dan Lilirilau meliputi 38 Kampung. Pada Tahun 1968 dengan diadakan reorganisasi Desa Gaya Baru, maka Kecamatan Lilirilau hanya terdiri dari 6 Wanua yang setingkat dengan Desa. Pada Tahun 1977 adanya pemekaran Desa dalam Daerah Tk.II Soppeng, maka Kecamatan Lilirilau dari 6 Desa menjadi 7 Desa. Pada Tanggal 17 Februari 1989 pemekaran Desa untuk kedua kalinya di kecamatan lilirilau dari 7 Desa menjadi 9 Desa. Kemudian pada Tanggal 25 September 1989 pemekaran Desa untuk ketiga kalinya dalam Daerah Tk. II Soppeng dimana Kecamatan Lilirilau yang terdiri dari 9 Buah Desa menjadi 12 Buah Desa/Kelurahan.

TES PIDATO BICARA UGI

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Sukkuruki mappuji tenrigangka lao ri olo arajanna Puang Allahutaala,nasabaq pammase-Na nennia pabbere-Na na nawerengi awatangeng nennia adisingeng na topada engka pasilennerengi gauq “Pestival Budaya Tradisional Se-Sulawesi Selatan 2.”
Tau maleqbiku Dewan Juri ,nennia sinning engkae hadereq.
Rideqnanapa naupatterui ada-adakku leqbi riolo maraja dampekka,nasabaq ia tettong riolo aleqbiretta maneng,tiwi akkatta maeloq paletturekki ada-ada apparingerrangeng ri passalenna,”Limpo Atuongetta” na sitongenna deqpa usitinaja ia maelo paletturekki,nasabaq ia tettong ri olo aleqbiretta engkamupa ri laleng mattuntu paqdissengeng na temmaega mupa paqdissengeng uappunnai.Naekia,tarona naulettukekki ,nasabaq iyaro riasenge paqdissengeng “lallo tassidapi” bettuanna weqdingi paqdissengeng nappunnaie seqdie tau naekia deq tosi nappunnai tau lainge,makkutoparo sibalerenna.Narimakkuanna na ro naparellunni sitawa-tawa paqddissengeng.
Tau maleqbiku engkae hadereq.
Passaleng “Limpo Atuongetta”parellu laqdei upangolo,oncopasa lao riolona rangeng-rangekku anaq pattola ri makkukkuange.Nasabaq magai? Sabaqna agi-agi ripeneqdingie ri makkukkuange ri passalenna aengkangenna peretiwie ,engkai ri laleng mappataqgerring kering.Peretiwi rionroie nennia sininna anu makkenyawae ,pada-padanna olokoloq,tanettaneng pedeq engkani macaweq ri apuppurenna nasabaq masolannana limpo atuongetta pedeq lao esso pedeq engkai pedeq ri laleng asolangenna.
Pura riajeppuini makkedae agaro riaseng limpo atuongeng nennia pekkoga gauqta barakkuammengi engkaki tette mampiriwi na rijampa apulanangenna.
Agi-aginna limpo atuongeng pada-padanna watu-watue,uwae nennia pada-padanna hawae,pella kecceqe nennia anu makkenyawae iya engkae ri limpota pada-padanna tanettanenge nennia olokoloqe na ajaq to nariallupai aleta muttamato ri kuae ro.
Agi-aginna limpo atuongetta iya puraenna upaletturekki masseq i assiraga-raganna nennia punnai assimellereng pole riseqdie lao ri anu lainge.Rupa tau,olokoloq nennia tanettaneng, tempeddingi tuo mannennungeng narekko agi-aginna engkai ri laleng asolangeng nennia riapuppurenna.Rapanna tempeqdikki tuo narekko tengengka uwae,olokoloq,nennia tanettaneng.
Rangeng-rangekku iya engkae ri laleng assipaddio-rionge.
Marilaleng maeloq upalettukekki,iya muttamae to passabareng pole ri asolangenna limpota.Ri liputa tegi-tegini mompo abalaq e .Pada ritani labu-labu wae matanna seqdie tau nasabaq riengkana sumpung lolona tallemme ri awana tanah maruttunge nasibawai lenyeqnana onrong accokkongenna.Seqdi amboq sibawa anaqna makkeumuruq seppulo taung lennyeq napakkua soloqna wae lempeq e,sabaq tengengkanana ureq ajukajung matangkung uwae nennia tahangi lebona tanae.
Seqdi anaqlolo mase-mase sojo matojo pura riengkana siangessoni masemmeng natepeqding madising,ri kuae ro seqdi tau pole orena temmaka laqdeq na reseqdena ro seqdi makkunrai malasa uliq. Ri kuae to ro wettue seqdi worowane temmaka kessinng noq pole ri seqdie oto temmaka kessing teteng taseq liseqna ro taseq e ,sureq-sureq wasseleq atteqbangeng aleq.
Deq to naceqdeq rita sulessuretta iya makurange lolongeng wae mapaccing natennajampa lolang mabela massappa uwae paccing.Pada rita toni ro sulessuretta, mannasu kaddoqbari iya tessitinajaenna rianre.
Ri laing onrong cumpani seqdi makkunrai indoq-indoq mattunu warowo iya sikore warowo pole ri anu weqdinge buruq nennia tempedinge buruq pada-padanna damae,marola tattunu, napedeq maerungnana zat ozonge iya engkae ri laleng hawae.
Agi-agi engkae ro ri aseq muttamai saisaqnai pole ri asolangenna alange iya engkae mompo ri liputa.Iyanae mompo nasabaq acaleongetta na addimunrinna ri asolangenna limpota nennia sinninna iya engkae ri limpota,na ripaccappurenna paompoq i anu majaq iya ripeneqdingie nennia tenripineqdingie.
Sulessureng maleqbiku.
Sitongenna anu makkuae ro ri aseq weqdingi deq napoleiki ,rekko meloq maneng muki mainge lao ri atassalang-atassalang iya purae ripegauq.Deq namacai alange, rekko maeloq muki padecengiwi.Peretiwi ileqja tania tau mattetenge denre tase ro punna,naekia peretiwie pada idi punna makkotoparo anaq eppota matti.Pada napoadae to sulessanata, ”Peretiwie tania manaq pole ri neneta naekia inreng pole ri anaq eppota.” Seppulo,duappulo taung purallaloe ,neneta makkeumuruqe pituppulo taung ,tappere-pereni makkae kaleqbong maeloq mattaneng sibatu kaluku iya engkae ri aseqna ceqde colli,neneta ro temmaqdennuangi buah kalukunna ro nalolongeng,naekia iyami napumenasa buah kaluku natanenge ro, anaq eppona mi matti peneqdingiwi.
Sulessureng maleqbiku.
Tentu pada mamminasaki maeloq tuo madising,siraga-raga nennia sipaddio-rio,naekia rimakkuae ro deq nasilalo paleqmi,naekia engkapa reso mattongettongeng, apaq makkedai tau sulessanata,”Resopa natemmangingi na malomo naletei pammase Dewata seuwae”,bettuanna tempeddingi jaji anu ripuminasaie narekko deq tomattongettongeng pogauq i.
Narimakkuanna na ro uellaui lao ri olo aleqbiretta maneng ,oncopasa lao ri rangeng-rangekku anaq pattolae, barakkuammengi tapada siraga-raga mampiriwi apulanangenna nennia asekkekenna peretiwita.Tapammulaini pole ri anu baiccue, rapanna ri limpota barakkuammengi nadeq napole lempeq e nennia limpota weqdingi makudara, tapada siraga-raga mattaneng aju-kajung,pada natunrengie tau malebita,pammarentata”one man one tree“ nennia “go green” bettuanna napumenasaiki pammarentata mattaneng pong aju-kajung pong mariawa sipong aju-kajung tassedqi tau,makkutopa ro naminasai limpo atuongetta makudara pulana.
Makkutopa ro tapada mannennungenni jagaiwi apaccingenna limpota pappada tapabbiasai aleta makkabeang warowo ri onronna,tapabbiasai aleta paccingiwi solongeng engkae ri seqde bolata,barakkuammengi deq nalele lasa namoq demam berdarae,sabaq makkedai warekkadae ,”Lele bulu tellele abiasang”,bettuanna iya ro abiasange mawatangi ripinra.
Makkutopa ro pada kitanenni rilaleng ati mapaccitta ,tapabbiasai aleta sarekkuammeng nadeq tollele temattebbang aju-kajung,tapabbiasai aleta deq tollele tomakkae tanah,mala kessi nennia mala batu nasabaq maeloqmi mappasugi ale ,naekia tiwi abalaq lao ri anaq eppota matti.Seuwa ada sulessana,”Narekko tempeqdikki mappedeceng pong mariawa ajana tomakkasolang.”Ingerangini sulessurekku ! aqdimunrinna atuotta ri peretiwie nennia wettue weqdingi pole onro,sabaq pole komi ri limpo atuongetta iya engkae ri makkokkoae.Rekko puppuni limpota pupputoni ro atuongetta idi anu makkenyawae.
Sulessureng maleqbiku .
Iyanae urapi upalettukekki ,mamuarei weqdingi papole akketujung lao ridi maneng, oncopasa lao ri sulessurekku,rangeng-rangekku anaq pattolae,barakkuammengi weqdiki tungkai limpota.Padatosa adanna tau sulessanae,”Narekko tania idi igana pale,narekko tania ri makkokkoae uppannapa pale?”
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarak