Sabtu, 15 September 2012

Kawali (kris)




Putra Jaya MS dengan koleksi keris Aru Palakka, Welua Tassappena Gowa/Ft:Mahaji Noesa
Soppeng, Sulawesi Selatan. Namun, Putra Jaya MS, pria kelahiran Bila, Kabupaten Soppeng, 24 Desember 1948 ini tak mau disebut sebagai seorang kolektor.

129742479161708141
Putra Jaya MS dengan koleksi keris Aru Palakka, Welua Tassappena Gowa/Ft:Mahaji Noesa
Dalam perbincangan dengan ayah dari 5 orang anak yang juga adalah Ketua Kerukunan Keluarga Soppeng (KKS) di Kota Makassar ini, mengaku mulai memiliki sebuah keris pada tahun 1973. Keris tersebut merupakan pusaka dari leluhur ibunya, yang dalam ceritanya dahulu dipakai sebagai benda bertuah. Pemegangnya diyakini akan terjauh dari marabahaya.
Mulanya, menurut Pak Putra — panggilan akrab keseharian dari Putra Jaya MS, keris leluhurnya tersebut diterima dan disimpan begitu saja. Setahun di tangannya, ia lalu menelisik keris itu. Ternyata terjadi perubahan, rumah (warangka) keris terlihat membengkak, pecah seolah terjadi pengembangan.
Anak sulung dari 7 bersaudara pasangan keluarga Petta Mappesangka (ayah/alm) dan Petta Kursia (ibu) ini lalu berinisiatif mengganti warangka keris yang pecah kepada seorang ahli pembuat warangka di Kota Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng. Keris jenis Sapu Kala tak berluk ini, dahulu merupakan milik Datu (Raja) di Kerajaan Appanang, La Tenro Aji Matinroe ri Tenggana Appanang, yang memerintah dalam abad ke-17 di Soppeng. Akan tetapi, keris itu sendiri diperkirakan sudah dibuat sejak masa To Manurung di Sulsel, abad X.
Namun, menurut Pak Putra setelah dilakukan penggantian warangka badik tersebut, ia justru seringkali bermimpi menemukan badik-badik lainnya. Anehnya, katanya, biasanya dalam waktu dua sampai tiga hari setelah bermimpi, di alam nyata kemudian ada saja family (keluarga) atau tetangganya yang secara khusus datang dari Soppeng termasuk dari kota lainnya ke tempat kediamannya di Jl. Ratulangi V Makassar untuk memberikan kawali (badik) atau keris.